a. Letak
Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Cina ditulis Ma-La-Yu merupakan
sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau Sumatera. Dari bukti dan
keterangan yang disimpulkan dari prasasti dan berita dari Cina,
keberadaan kerajaan yang mengalami naik turun ini dapat di diketahui
dimulai pada abad ke-7 yang berpusat di Minanga, pada abad ke-13 yang
berpusat di Dharmasraya dan diawal abad ke 15 berpusat di Suruasoatau
Pagaruyung.
Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atauSwarnabumi yang
oleh para pendatang disebut sebagai pulau emas yang memiliki tambang
emas, dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan
di Selat Melaka sebelum direbut oleh Kerajaan Sriwijaya.
Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di
tengah pelayaran antara Sriwijaya dan Kedah. Jadi Sriwijaya terletak di
selatan atau tenggara Melayu. Hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa
negeri Melayu berlokasi di hulu sungai Batang Hari, sebab pada alas arca
Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh
1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja
Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu.
b. Sumber
– Berita tentang Kerajaan Melayu antara lain diketahui dari dua buah buku karya Pendeta I-tsing atau I Ching (634-713)dalam
pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di negeri Sriwijaya
enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya (tatabahasa Sansekerta).
Ketika pulang dari India tahun 685, I-tsing bertahun-tahun tinggal di
Sriwijaya untuk menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa
Sansekerta ke bahasa Cina. I-tsing kembali ke Cina dari Sriwijaya tahun
695. Ia menulis dua buah bukunya yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang).
– Menurut catatan I-tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha aliran
Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang
dianut oleh Kerajaan Melayu.
– Berita lain mengenai Kerajaan Melayu berasal dari T’ang-Hui-Yao yang
disusun oleh Wang p’u pada tahun 961, dimana Kerajaan Melayu
mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 untuk pertama kalinya, namun
setelah berdirinya Sriwijaya sekitar 670, Kerajaan Melayu tidak ada lagi
mengirimkan utusan ke Cina.
- Kitab Purana pada zaman Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud tanah yang dikelilingi air.
- Geographike Sintaxis karya Ptolemy Pengunaan kata Melayu, telah dikenal sekitar tahun 100-150 yang menyebutkanmaleu-kolon
c. Raja-raja Kerajaan Melayu
- Srimat
Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1183). Sumber: Prasasti Grahi
tahun 1183 di selatan Thailand, perintah kepada bupati Grahi yang
bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2
tula dengan nilai emas 10 tamlin. Ibukota: Dharmasraya.
- Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. (1286). Prasasti Padang Roco tahun 1286
di Siguntur, pengiriman Arca Amonghapasa sebagai hadiah Raja Singhasari
kepada Raja Dharmasraya. Ibukota: Dharmasraya.
- Akarendrawarman. (1300). Sumber: Prasasti Suruaso. Ibukota: dharmasraya atau Suruaso.
- Srimat
Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.
(1347). Sumber: Arca Amoghapasa. Ibukota: Suruaso atau Pagarruyung.
- Ananggawarman. (1375). Sumber: Prasasti Pagaruyung. Ibukota: Pagaruyung.
d. Politik
Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya)
dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang
Dipertuan Hyang). Oleh karena Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara
lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu adalah ekspedisi
militer menaklukkan suatu daerah. Dari prasasti Kedukan Bukit,
didapatkan data-data:
– Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682).
– Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei)
dengan membawa lebih dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di
Muka Upang.
Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 682. Pendapat
ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju
India tahun 671, Ma-la-yu masih menjadi kerajaan merdeka, sedangkan
ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh
Shih-li-fo-shih.
Pelabuhan Malayu merupakan penguasa lalu lintas Selat Malaka saat itu.
Dengan direbutnya Minanga, secara otomatis pelabuhanpun jatuh ke tangan
Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 682 penguasa lalu lintas dan
perdagangan Selat Malaka digantikan oleh kerajaan Melayu Sriwijaya
Kekalahan Kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa, raja
Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas
Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu
kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa
Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah
Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi
perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada
bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca
Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang
mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.
Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti
Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja
bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa.
Ia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara
raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di kota
Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton disebut
dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut
sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah
keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa
juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun Prasasti Grahi tidak
menyebutnya dengan jelas.
Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun
1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya
sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu
bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya
kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, dari catatan Cina [9] disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dariChen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts’i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah Srimat yang
ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari
bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan
kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak
diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah
Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat
ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada
prasasti Grahi.
Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan
pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke
Sumatera yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh
Kebo Anabrang.
Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca
Amoghapasa sebagai tanda persahabatan antara Singhasari dengan
Dharmasraya.
Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri
Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Untuk memperkuat persahabatan
antara Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan
Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan
Singhasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit.
Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Ia kemudian
melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar
Mantrolot Warmadewa. Namun ada kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga
mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab Raden
Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua
anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilakukan untuk menjaga
ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di
Singhasari.
Sebagian sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan
Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini
mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa
dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat
sebagaiRakryan Mahamantri dalam
pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi.
Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini.
Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan
Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.
Adityawarman sendiri nantinya menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini
untuk menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja.
e. Penaklukan Majapahit
Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya
sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan
Majapahit di Pulau Sumatra. Namun interpretasi isi yang menguraikan
daerah-daerah “wilayah” kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti
ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini.
Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagaiuparaja atau
raja bawahan Majapahit untuk menaklukan wilayah Swarnnabhumi nama lain
pulau Sumatera. Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai
Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai Bupati Palembangyang
berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343. Menurut
Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman.
f. Kerajaan Melayu Pagaruyung
Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, Pada
tahun 1343 adityawarman kembali ke Swarnnabhumi dan ditahun 1347
memproklamirkan dirinya sebagai pelanjut Dinasti Mauli penguasa Kerajaan
Melayu di Dharmasraya dan selanjutnya memindahkan pusat pemerintahannya
ke Suruaso, (daerah Minangkabau), dengan gelarMaharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa. Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarmanpernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama
penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu
sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di
Swarnnabhumi.
Dari catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatera) terdapat tiga orang raja. Mereka adalah Sengk’ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja
Dharmasraya). Dan sebelumnya pada masa Dinasti Yuan (1271-1368),
Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali
sebagai duta ke Cina yaitu pada tahun 1325 dan 1332, dan tentu dengan
nama yang sama pada masa Dinasti Ming masih dirujuk kepada Adityawarman,
yang kemudian kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang
tahun 1371 sampai 1377. Dan kemudian dari berita ini dapat dikaitkan
dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang
diperkirakan pada zaman Adityawarman, dimana pada naskah tersebut ada
menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya. Jika dikaitkan dengan piagam
yang dipahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman
bergelar Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang.